BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesulitan belajar ini tidak selalu
disebabkan karena faktor intelegensi yang rendah (kelain mental ), akan tetapi
dapat juga disebabkan oelh faktor –faktor non –intelegensi. Dengan demkian, IQ
yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar, karena itu dalam rangka
memberikan bimbingan yang tepat kepada setiap anak didik, maka para pendidik
perlu memahami masalah –masalah yang berhubungan dengan kesulitan
belajar.Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari
nenurunya kinerja akademik atau belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat
dibuktikan denga munculnya kelainan prilaku (Misbehavior) siswa seperti
kesukaan berteriak di dalam kelas, megusik teman, berkelahi, sering tidak masuk
sekolah dan sering minggat dari sekolah.Menurut para ahli pendidikan, hasil
belajar yang dicapai oleh para peserta didik dipengaruhi oleh dua faktor utama,
yakni faktor yang terdapat dalam diri peserta didik itu sendiri yang disebut
faktor internal, dan yang terdapat diluar diri peserta didik yang disebut
dengan eksternal.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan hakikat bahasa dan wicara ?
2.
Bagaimana perkembangan bahasa anak normal ?
3.
Apa yang dimaksud dengan kesulitan belajar bahasa dan asesmennya ?
4.
Apa yang dimaksud dengan remediasi ?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai
melalui pembahasan makalah ini adalah agar dapat dipahami :
1.
Hakikat bahasa dan wicara.
2.
Perkembangan bahasa anak normal
3.
Kesulitan belajar bahasa dan asesmennya
4.
Remediasi
D. Manfaat
Penulisan makalah ini memiliki manfaat
sebagai berikut :
1.
Mendeskripsikan hakikat bahasa dan wicara.
2.
Mengetahui perkembangan bahasa anak normal.
3.
Mendedkripsikan dan mengetahui kesulitan belajar bahasa dan asesmennya.
4.
Mengetahui mengenai remediasi.
E. Metode Penulisan
Penulisan menggunakan metode pustaka dan jelajah internet.
BAB II
ISI
KESULITAN BELAJAR BAHASA
1. Hakikat Bahasa dan Wicara
Bahasa merupakan suatu system komunikasi yang
terintegrasi, mencakup bahasa ujaran, membaca dan menulis (Lemer,
1988:311).Sedangkan wicara merupakan suatu bentuk penyampaian bahasa dengan
menggunakan organ wicara.Ada orang yang memiliki kemampuan berbahasa yang baik
tetapi ada gangguan pada organ wicaranya sehingga memiliki kesulitan dalam
wicara.Ada orang yang organ wicaranya baik namun memiliki kesulitan dalam
berbahasa; dan ada pula orang yang disamping memiliki kesulitan dalam bahasa
juga memiliki kesulitan dalam wicara.
Menurut Owens (1984:379) bahasa merupakan
kode atau sistem konvensional yang disepakati secara social untuk menyajikan
berbagai pengertian melalui penggunaan simbol-simbol sembarang (arbitrary symbols) dan tersusun
berdasarkan aturan yang telah ditentukan. Bahasa memiliki cakupan luas (bahasa
isyarat, kode morse, bahasa ujaran, bahasa tulis) sedangkan wicara hanya
merupakan makna verbal dari penyampaian bahasa. Meskipun ada beberapa beberapa
problema wicara yang disebabkan oleh adanya gangguan organ wicara, problema
tersebut tidak dianggap sebagai problema bahasa jika tidak mengurangi kualitas
simbolis berbagai ide, perbendaharaan kata, atau gramatika yang diekspresikan.
Menurut ALSH (American Speech-Language-Hearing Association) ada tiga komponen
wicara, yaitu (1) artikulasi, (2) suara dan (3) kelancaran.Berdasarkan tiga
macam komponen tersebut maka kesulitan wicara juga mencakup kesulitan dalam
artikulasi, penyuaraan dan kelancaran (Lovitt, 1989:146).Komponen artikulasi
berkenaan dengan kejelasan pengujaran kata, komponen suara berkaitan dengan
nada, kenyaringan dan kualitas wicara, dan komponen kelancaran berkenaan dengan
kecepatan wicara.
Ekspresi bahasa memiliki enam komponen, yaitu
(1) fonem, (2) morfem, (3) sintaksis, (4) semantic, (5) prosodi dan (6)
pragmantik.Fonem adalah satuan terkecil dari bunyi ujaran yang dapat membedakan
arti (Gorys Keraf, 1991:30). Contohnya adalah fonem l dan fonem r pada kata
“lagu” dan “ragu” yang membedakan arti dari kedua kata tersebut. Morfem merupakan
unit terkecil dari bahasa yang mengandung makna.Lovitt (1989:147) memberikan
contoh dengan kata “unnatural” yang terdiri dari dua morfem “un” dan “natural”.
Dalam bahasa Inggris, “un”, “re”, “de” dinamakan prefiks atau menurut Parera
(1990:19) disebut pembubuh depan. Sedangkan Gorys Keraf (1991:52) menamainya
awalan. Menurut Parera dan Keraf, prefiks atau pembubuh depan atau awalan
disebut morfem terikat. Dalam kata “unnatural” terdiri dari dua morfem, “un”
sebagai morfem terikat sedangkan “natural” sebagai morfem bebas atau kata
dasar. Dalam Bahasa Indonesia dikenal adanya empat morfem terikat yaitu :
(1) refiks
atau awalan (misalnya ber, me);
(2) infiks
atau sisipan (misalnya el,em, er);
(3) surfiks
atau akhiran (misalnya kan, an) dan
(4) konfiks
yang merupakan gabungan dari dua atau tiga morfem terikat yang lain.
Morfem bebas atau morfem dasar dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai
kata dasar, sedangkan morfem terikat disebut imbuhan. Dengan demikian, morfem
adalah suatu kesatuan yang ikut serta dalam pembentukan kata yang dapat
dibedakan artinya (Keraf, 1991:54). Contoh dari kata dasar adalah “jalan” yang
artinya akan berubah jika diberi awalan “per” dan akhiran “an” sehingga menjadi
“perjalanan”. Sintaksis berkenaan dengan tata bahasa, yaitu bagaimana kata-kata
disusun untuk membentuk kalimat (Lovitt, 1989:1470).Tiap bahasa memiliki sistem
khusus untuk menyusun kata-kata menjadi kalimat. Dengan demikian, menyusun
kata-kata menjadi kalimat berdasarkan sintaksis bahasa lain dapat menimbulkan
kesalahan. Sintaksis suatu bahasa harus merupakan perumusan berbagai macam
gejala susun-bentuk kata-kata dalam suatu bahasa (Keraf, 1991:137).
Menurut Keraf, sintaksis membicarakan frasa,
klausa dan kalimat. Frasa adalah suatu konstruksi yang terdiri dari dua kata
atau lebih yang membentuk suatu kesatuan.Kesatuan tersebut membentuk makna baru
yang sebelumnya tidak ada.Contoh frasa adalah “rumah makan”, makna baru yang
muncul adalah menunjukkan “tempat”.Klausa merupakan suatu konstruksi yang di
dalamnya terdapat beberapa kata yang mengandung hubungan fungsional, yang dalam
tata bahasa lama dikenal dengan pengertian subjek, predikat, objek.Dalam
keadaan tertentu klausa terdiri dari satu predikat dan boleh dengan
keterangan.Contoh satu klausa adalah “ibu menanak nasi”, dan contoh dua klausa
adalah “ketika ibu menanak nasi, adik menggambar gelas di dekatnya.”
Suatu kalimat disebut sempurna jika dalam
rentetan arus ujaran telah tercakup pertimbangan struktur segmental dan
struktur suprasegmental (Keraf, 1991:141).Struktur segmental adalah adanya
subjek, predikat, objek, sedangkan struktur suprasegmental adalah intonasi.
Dengan demikian dapat dirumuskan sebagai berikut :
(1) Kalimat
yang merupakan gabungan kata dan intonasi. Misalnya: “Pergi!” (makasudnya
menyuruh pergi) atau “maling!” (artinya memberitahukan ada maling).
(2) Kalimat yang merupakan gabungan frasa dan intonasi,
misalnya “Bapak menulis surat”.
Prosodi
berkenaan dengan penggunaan irama yang layak, intonasi,
dan tekanan pola-pola bahasa. Prosodi sering juga disebut melodi wicara.
Prosodi merupakan suprasegmental bahasa yang di dalamnya terkandung
komponen-komponen tekanan atau intensitas suara, nada suara, durasi, dan
perhatian.
Pragmatik
berkenaan dengan cara menggunakan bahasa dalam situasi
sosial yang sesuai. Dalam kehidupan sehari-hari, orang akan mengubah cara
mereka berbicara sesuai dengan yang diajak mereka bicara, tujuan bicara , dan
berbagai faktor lainnya.
2. Perkembangan Bahasa Normal
Ada 3
komponen bahasa, yaitu isi, bentuk, dan penggunaan bahasa (Lovit, 1989 : 147).
Perkembangan bahasa terjadi secara berkesinambungan dari sejak berusia satu
tahun hingga mampu mengintegrasikan ketiga komponen tersebut.
Pada
mulanya bayi belajar tentang onjek yang merupakan bagian dari
gerakan-gerakannya sendiri dan benda-benda atau peristiwa-peristiwa yang ada di
sekitarnya. Tanda-tanda awal dari bentuk bahasa dapat dilihat dari kemampuan
bayi mengeluarkan bunyi-bunyi. Selanjutnya, pada usia 2 tahun, bunyi-bunyi
tersebut dirakit menjadi kata-kata. Pada usia satu bulan, bayi sesungguhnya
telah menyadari adanya wicara dan sangat sensitif terhadap aspek-aspek sosial
di sekitarnya. Para orang tua umumnya menirukan bunyi-bunyi yang dikeluarkan
oleh bayi untuk mengluarkan bunyi lebih baik lagi. Anak berkesulitan belajar
umumnya memiliki perkembangan yang lebih lambat daripada anak normal.
a. Perkembangan isi dan bentuk bahasa
Ada 3 hal yang
perlu dibahas dalam perkembangan isi dan bentuk bahasa anak, yakni :
1. Perbendaharaan kata
Pada usia dua tahun anak biasanya telah mulai mengucapkan
kata-kata dan memahami makna kata-kata tersebut. Mereka mulai menggunakan kata
untuk suatu objek tertentu, misalnya “mama”, dan kelompok benda, misalnya
“buah”. Selanjutnya anak mempelajari kata-kata yang lebih abstrak yang
berkaitan dengan keberadaan, misalnya “di sana”, tentang keadaan misalnya
“hilang”, dan tentang kemunculan kembali misalnya “lagi”.
Meski anak sudah mulai memahami kata yang mereka ucapkan,
tetapi anak sering menggunakan kata-kata yang tidak tepat. Sejak usia 2 tahun,
penggunaan kata tunggal berlanjut hingga menjadi sintaksis. Sementara itu, anak
mulai belajar tentang semantik dan struktur sintaksis untuk kalimat yang lebih
kompleks.
Pada periode ini peranan orang tua sangat penting; mereka
secara terus-menerus berkomunikasi verbal maupun gestural dengan anak.
Anak berkesulitan belajar sering tidak memiliki situasi
keluarga semacam itu, sehingga kurang memiliki kesempatan untuk mencoba
kemampuan mereka dalam berbicara. Oleh karena itu, banyak anak berkesulitan
belajar yang perkembangan bahasanya terhenti pada tahap ini sehingga memiliki
kesulitan untuk berbicara secara lebih baik.
2. Struktur semantik-sintaksis
Isi semantik kalimat-kalimat permulaan adalah informasi
tentang hubungan antar berbagai objek, terutama mencakup kegiatan, tempat dan
orang. Pada tahap ini anak mulai menggunakan frasa seperti “mama saya” dan “di
mana ayah saya”. Berdasarkan kombinasi sederhana tersebut struktur sintaksis
kalimat akan berkembang secara bertahap.
Pada saat anak-anak mulai menggabungkan kalimat secara konsisten
dalam bentuk kaimat-kalimat, mereka telah menggunakan kata depan seperti “di”
atau “pada”. Struktur bahasa permulaan yang lain adalah penggunaan kata-kata
yang sama dengan situasi yang berbeda-beda dengan bermacam-macam makna.
Contohnya adalah “mam”; maksudnya mungkin ingin makan, ingin minum atau mungkin
melihat makanan.
3. Variasi dan kompleksitas
Mengenai variasi, anak-anak di samping menambah
perbendaharaan kata juga aturan-aturan penggabungan dari tiap-tiap penggabungan
dari tiap-tiap pengetahuan bahasa yang dimiliki yaitu isi, bentuk, dan
penggunaan.
Banyak anak berkesulitan belajar yang lambat dalam
mengembangkan kata-kata baru atau yang berbeda. Tidak sedikit di antara mereka
yang memperlihatkan kekurangpercayaan untuk mencoba kata-kata atau frasa-frasa
baru. Ditambah lagi di antara mereka sering tidak hidup dalam lingkungan orang
tua yang mendorong munculnya variasi linguistik baru.
Kompleksitas terjadi ketika kalimat-kalimat anak menjadi
lebih panjang. Pada mulanya anak menggabungkan hubungan sematik-sintaksis yang
muncul dalam ucapan-ucapan paling awal. Selanjutnya, anak-anak menggabungkan
kalimat-kalimat sederhana dengan kata penghubung. Sebagai contoh : “beri saya
pensil agar saya dapat menggambar”.
Antara dua tahap perkembangan yang telah dikemukakan,
mulai dengan kalimat dua kata dan berlanjut hingga lebih panjang. Anak-anak
belajar lebih banyak tentang tata bahasa, terutama tentang penolakan seperti
“tidak”, “bukan”, juga tentang kata tanya seperti “siapa” dan sebagainya.
b. Perkembangan penggunaan bahasa
Ada 3 hal yang
perlu dibahas dalam penggunaan bahasa :
1. Fungsi
Dari usia 3 tahun, anak menjadi semakin sadar akan
banyaknya fungsi dari bahasa dan penggunaannya. Pada mulanya anak menggunakan
percakapan untuk mengemukakan keinginan dan perasaan mereka. Selanjutnya mereka
menggunakan percakapan untuk memulai dan mempertahankan interaksi dengan orang
lain untuk memperoleh informasi, dan akhirnya untuk mengidentifikasi kebutuhan
latar belakang teman bicara.
Adanya latar belakang yang bervariasi, minat dan
kemampuan teman bicara mereka, memungkinkan anak memiliki banyak variasi
sehingga mampu menguasai bahasa dengan baik. Tetapi sayangnya, anak-anak
berkesulitan belajar sering tidak memperoleh keuntungan karena mereka sering
enggan melakukan percakapan, dan jika mereka melakukannya, interaksi tersebut
hanya dalam jangka waktu yang singkat dan cenderung pada tingkat percakapan
yang rendah. Oleh karena itu, teman bicaranya cenderung tidak berbicara terus
terang kepadanya, tidak terangsang untuk berinteraksi dan ingin segera
mengakhiri percakapan.
2. Hubungan antara pemahaman dan percakapan
Sambil menyimak dan memahami perkataan orang lain,
anak-anak mulai memahami makna dari berbagai kata dan frasa; dan selanjutnya
mereka mulai mencoba menggunakan kata dan frasa tersebut dalam percakapan
mereka sendiri. Selanjutnya orang tua atau teman bicara yang komunikatif pada
saat mendengar berbagai kata dan frasa tersebut bereaksi dengan cara
memperbaiki bicara anak. Sayangnya, anak berkesulitan belajar umumnya kurang
memiliki perhatian. Mereka bukan pendengar yang baik, dan kurang mampu menarik
kata dan frasa baru di lingkungan untuk menambah kemampuan mereka dalam
berbahasa.
3. Bahasa sebagai proses sepanjang kehidupan
Manusia dapat mengembangkan kemampuan bahasa hampir
sepanjang kehidupan mereka. Selama seorang individu mendengar berbagai
percakapan yang lebih baik; terlebih dalam berbagai peristiwa, membaca berbagai
jenis buku, surat kabar, dan majalah; lebih banyak menulis; menjelaskan lebih
banyak persoalan kompleks atau persoalan sederhana secara singkat, menerima
lebih banyak umpan balik dari orang lain; dan belajar mendengarkan atau
mengekspresikan berbagai maksud; maka individu tersebut akan memiliki
kesempatan untuk menyesuaikan, memodifikasi, atau meningkatkan kemampuan mereka
dalam berbahasa. Sayangnya, banyak anak berkesulitan belajar yang kurang
terampil untuk menarik keuntungan dari berbagai situasi tersebut sehingga gagal
menguasai bahasa dengan baik.
3. Kesulitan Belajar Bahasa Dan Asesmennya
a. kesulitan
belajar
Adanya organ wicara yang terkait dengan salah satu atau
lebih komponen wicara (artikulasi, suara dan kelancaran) dapat menimbulkan
kesulitan wicara. Meskipun anak mengalami kesulitan wicara, tidak selalu
berarti mengalami kesulitan bahasa.
Menurut Lovitt (1989: 151), ada berbagai penyebab
kesulitan belajar bahasa, yaitu :
a. Kekurangan kognitif
Ada 7 jenis
kekurangan kognitif, yaitu :
a) Kesulitan
Memahami dan Membedakan Makna Bunyi Wicara.
Anak berkesulitan belajar
sering memiliki problema auditoris, yaitu kesulitan untuk memahami dan
membedakan makna bunyi wicara.Kondisi semacam itu menyebabkan anak mengalami
kesulitan untuk merangkai fonem, segmentasi bunyi, membedakan nada, mengatur
kenyaringan, dan mengatur durasi bunyi.
b) Kesulitan
Membentuk Konsep dan Mengembangkannya kedalam Unit-unit Semantik.
Pemahaman terhadap unit-unit
semantik (kata dan konsep) menunjukkan adanya pengetahuan tentang kekeluargaan
kata secara tepat.Perkembangan normal tentang pembentukan konsep tergantung
pada kemampuan abstraksi, generalisasi, kategorisasi, dan faktor-faktor
lainnya.Banyak diantara anak-anak berkesulitan belajar yang memiliki masalah
dalam pembentukan konsep dan dalam menghubungkan unit-unit semantik. Sebagai
contoh, anak berkesulitan belajar mungkin hanya memiliki satu makna tentang
kata “puasa”, yaitu tidak makan dan minum pada waktu siang hari. Anak
berkesulitan belajar juga sering
mengalami kesulitan dengan kekeluargaan kata, misalnya ketika ia
bermaksud untuk menggunakan kata “meledak” tetapi yang digunaakan adalah kata
“bom”. Sesungguhnya memang ada hubungan antara kata “meledak” dengan “bom”
tetapi bukan hubungan sinonim.Jika orang bermaksud menggambarnya banyaknya
pengunjung pertandingan sepak bola seharusnya menggunakan kata “meledak”, bukan
kata “bom”.
c) Kesulitan
Mengklasifikasikan Kata.
Anak berkesulitan belajar
sering mengalami kesulitan dalam mengelompokkan kata-kata.Jika mereka
dihadapkan pada kata-kata seperti bayam, kangkung, selada, dan seledri, yang
seharusnya dikelompokkan sebagai sayuran, tetapi mereka mengelompokkan atas
warna, yaitu hijau.
d) Kesulitan
dalam Relasi Semantik.
Anak berkesulitan belajar
sering mengalami kesulitan untuk menemukan dan menetapkan kata yang ada
hubungannya dengan kata lain. Sebagai contoh, anak mungkin akan mengalami
kesulitan dalam menetapkan hubungan antara kata “bangun”, “mandi”, “pakaian”,
“sarapan”, “buku”, dan “sekolah” dalam tugas menyusun kalimat yang terkait
dengan urutan waktu. Anak-anak berkesulitan belajar umumnya juga mengalami
kesulitan dalam mencari padanan kata-kata.
e) Kesulitan
dalam Memahami Sistem Semantik.
Untuk memecahkan masalah verbal
diperlukan pemahaman tentang adanya hubungna antara masalah, proses yang
digunakan hingga sampai pada suatu upaya pemahaman.Banyak anak berkesulitan
belajar yang memiliki kesulitan dalam membaca pemahaman, dalam matematika, dan
dalam penalaran ruang dan waktu.Kesulitan ini diduga berkaitan dengan adanya
kesulitan dalam pemprosesan bahasa auditoris.Anak berkesulitan belajar sering
mengalami kesulitan dalam bercerita dan penjelasan mereka sering tidak tersusun
secara baik.
f) Transformasi Semantik.
Suatu informasi disampaikan
melalui kata-kata dengan cara yang berbeda-beda, tergantung pada hubungan,
peranan, atau kebermaknaan ucapan. Kata ”lembut” misalnya, mungkin menjelaskan
tentang tekstur, warna, volume, atau mungkin tentang gerakan.
Pengenalan dan kemampuan
membuat perubahan makna kata mencerminkan suatu pemahaman transformasi
semantik.Anak berkesulitan belajar sering mengalami kesulitan dalam pembuatan
transformasi semantik sehingga mengalami kesulitan dalam menggunakan kata
banyak makna, langgam suara (idioms), dan kiasan (metaphora).
g) Implikasi
Semantik.
Tingkat kemampuan tertinggi
untuk memahami bahasa adalah kemampuan menagkanp informasi yang diimplikasikan,
yang tidak dinyatakan secara jelas. Kemampuan tersebut mencerminkan suatu
kesadaran tentang kemungkinan berbagai penyebab, yang merupakan bidang sulu
bagi anak berekesulitan belajar. Oleh karena itu, anak berkesulitan belajar
sering mengalami kesulitan dalam memahami pepatah, cerita perumpamaan, dongeng,
atau mitos.Akibat dari kekurangan dalam bidang implikasi semantik tersebut,
maka anak berkesulitan belajar juga megalami kesulitan untuk memahami humor.
2. Kekurangan dalam Memori.
Hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa anak berkesulitan belajar sering memperlihatkan
kekurangan dalam memori auditoris. Adanya kekurangan dalam memori auditoris
tersebut dapat menimbulkan kesulitan dalam memproduksi bahasa.Lagi pula, mereka
sering memperlihatkan adanya kekurangan khusus dalam mengluang urutan fonem,
mengingat kembali kata-kata, mengingat simbol, dan memahami hubungan
sebab-akibat.
3. Kekurangan Kemampuan Menilai.
Penilaian
merupakan bagian integral dari proses bahsa karena menjadi jembatan antara
pemahaman dengan produksi bahasa. Penilaian yang kritis terhadap informasi
verbal memerlukan pembandingan antara informasi baru dengan informasi yang
telah diperoleh sebelumnya. Anak berkesulitan belajar sering memiliki kesulitan
dalam menilai kemantapan atau keajegan arti dari suatu kata baru terhadap
informasi yang telah mereka peroleh sebelumnya. Akibatnya, anak mungkin akan
menerima saja kalimat atau kata yang salah. Sebagai contoh, mungkin anak akan
membenarkan saja kalimat “Ibu memasukkan pakaian pada lemari”. Pada taraf
implikasi semantik, anak berkesulitan belajar juga sering tidak mampu mengevaluasi
keajegan hubungan sebab-akibat.Akibatnya, mereka sering menerima saja kalimat
seperti “pakaian itu terbuat dan sangat indah”.Anak berkesulitan belajar sering
mengalami kesulitan dalam mengenal kesalahan-kesalahan sintaksis, dan setelah
merekatahu kesalahan-kesalahan tersebut, mereka juga tidak dapat
memperbaikinya.
4. Kekurangan
Kemampuan Produksi Bahasa.
Hasil
penelitian Idol-Maetas sseperti dikutip oleh Lovitt (1989 : 156) menunjukkkan
bahwa bahasa anak- anak berkesulitan belajar mengandung lebih sedikit kata-kata
bermakna daripada anak-anak yang perkembangan bahasanya normal. Cerita-cerita
anak berkesulitan belajar umumnya berbentuk fragmen-fragmen atau
penggalan-penggalan dan urutannya tidak teratur.
Ada
dua jenis kemampuan produksi bahasa, kemampuan produksi konvergen dan kemampuan
produksi devergen.Kemampuan produksi konvergen berkenaan dengan kemampuan
menggambarkan kesimpulan logis dari informasi verbal dan memproduksi jawaban
semantik yang khas.Kemampuan produksi devergen berkenaan dengan kelancaran,
keluwesan keaslian, dan keluasan bahasa yang diproduksi.
5. Kekurangan
Pragmatik.
Anak
berkesulitan belajar umumnya memperlihatkan kekurangan dalam mengajukan
berbagai pertanyaan , memberikan reaksi yang tepat terhadap berbagi pesan,
menjaga atau mempertahankan percakapan, dan mengajukan sanggahan berdasarkan
argumentasi yang kuat. Anak berkesulitan belajar
umumnya juga kurang persuasif dalam percakapan, lebih banyak mengalah dalam
percakapan, dan kurang mampu mengatur cara berdialog dengan orang lain.
b. Asesmen
Kemampuan Berbahasa.
Ada
dua macam jenis asesmen, asesmen formal dan informal.Asesmen formal umumnya
telah dibakukan sedangkan asesmen informal sering tidak dibakukan. Asesmen
formal bahasa Indonesia belum banyak dikembangkan karena kajian tentang
kesulitan belajar masih berada pada tahap permulaan. Untuk menguasai kondisi
yang kurang menguntungkan tersebut, berbagai tes bahasa Indonesia yang
digunakan di sekolah dapat digunakan sebagai alat asesmen. Tes konsep-konsep
dasar ciptaan Boehm (Boehm Test of basic Concepts) (Boehm, 1970) mungkin
merupakan salah satu instrumen asesmen formal yang dapat diadopsi di Indonesia,
khususnya untuk anak-anak usia sekolah permulaan. Tes tersebut dirancang untuk
mengevaluasi pengetahuan dan pemahaman anak tentang konsep-konsep dasar
kuantitas, ruang, waktu, dan kombinasi dari aspek-aspek tersebut.Tentu saja tes
tersebut perlu diadaptasikan dahulu dengan kondisi budaya Indonesia, misalnya
dengan memodifikasi gambar-gambar dalam tes tersebut dengan benda-benda yang
lazim ditemukan di Indonesia.
4.
Remediasi
Ada
lima macam pendekatan remediasi bagi anak berkesulitan belajar bahasa, (1)
pendekatan proses, (2) pendekatan analisis tugas, (3) pendekatan behavioral,
(4) pendekatan interaktif-interpersonal, dan (5) pendekatan sistem lingkungan
total (Lovitt, 1989: 165).
Pendekatan proses bertujuan untuk
memperkuat dan menormalkan proses yang dipandang sebagai dasar dalam memperoleh
kemahiran berbahasa dan komunikasi verbal. Proses yang ditekankan pada jenis
remediasi ini adalah persepsi auditoris, memori, asosiasi, interpretasi, dan
ekspresi verbal. Pendekatan
analisis tugas bertujuan untuk meningkatkan kompleksitas pengertian (semantik),
struktur (morfologi dan sintaksis), atau fungsi (pragmatik) bahasa
anak-anak.Pendekatan ini menekankan pada pengembangan arti kata, konsep bahasa,
dan memperkuat kemampuan berpikir logis.
Pendekatan perilaku dalam remediasi
kesulitan belajar bahasa bertujuan untuk memodifikasi atau mengubah bahasa
lahir dan perilaku komunikasi.Pendekatan secara umum menggunakan
prinsip-prinsip operan conditioning untuk memunculkan perilaku yang
diharapkan dan mencegah atau menghilangkan perilaku bahasa yang tidak sesuai.
Pendekatan
interaktif-interpersonal secara umum bertujuan untuk memperkuat kemampuan
pragmatik dan mengembangkan kompetensi komunikasi. Adapun tujuan lainnya adalah
untuk meningkatkan pengambilan peran dan kemampuan pengambilan peran anak-anak
dalam berkomunikasi, mengembangkan persepsi sosial nonverbal, dan meningkatkan
gaya komunikasi verbal dan nonverbal.
Pendekatan sistem lingkungan total
bertujuan untuk menciptakan peristiwa atau situasi lingkungan yang kondusif
sehingga dengan demikian mendorong terjadinya peningkatan frekuensi berbahasa
dan pengalaman berkomunikasi pada anak-anak. Pendekatan sistem lingkungan totla
sering disebut juga pendekatan holistik, yang bertujuan menumbuhkan kompetensi
komunikasi untuk kehidupan, agar mendukung perkembangan potensi anak untuk
mencapai prestasi dan penyesuaian dalam pengambilan lapangan pekerjaan dan
profesi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ø Bahasa
merupakan suatu system komunikasi yang terintegrasi, mencakup bahasa ujaran,
membaca dan menulis (Lemer, 1988:311). Sedangkan wicara merupakan suatu bentuk
penyampaian bahasa dengan menggunakan organ wicara.
Ø Ada 3 komponen bahasa, yaitu isi, bentuk, dan penggunaan
bahasa (Lovit, 1989 : 147). Perkembangan bahasa terjadi secara berkesinambungan
dari sejak berusia satu tahun hingga mampu mengintegrasikan ketiga komponen
tersebut.
Ø Menurut Lovitt (1989: 151), ada berbagai penyebab kesulitan
belajar bahasa, yaitu :
a. Kekurangan kognitif
b. Kekurangan dalam memori
c. Kekurangan kemampuan dalam melakukan evaluasi
d. Kekurangan kemampuan memproduksi bahasa
e. Kekurangan dalam bidang pragmatik
Ø Ada
dua macam jenis asesmen, asesmen formal dan informal. Asesmen formal umumnya
telah dibakukan sedangkan asesmen informal sering tidak dibakukan.
Ø Ada
lima macam pendekatan remediasi bagi anak berkesulitan belajar bahasa, (1)
pendekatan proses, (2) pendekatan analisis tugas, (3) pendekatan behavioral,
(4) pendekatan interaktif-interpersonal, dan (5) pendekatan sistem lingkungan
total (Lovitt, 1989: 165).
B.
Saran
Dalam pembuatan
makalah ini kami telah berusaha semaksimal yang kami bisa.Namun, kami mengakui
pasti masih banyak terdapat kekurangan didalamnya.Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran yang konstruktif agar kedepannya dapat lebih baik lagi.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين