A. Awal
Kelahiran Pujangga Baru
Pujangga Baru dilatarbelakangi semangat
persatuan yang hidup dalam msyarakat Indonesia. Semangat ini dipelopori oleh
kaum muda yang pada tanggal 28 Oktober 1928 telah mencetuskan Sumpah Pemuda. Sumpah
sakti ini berbunyi sebagai berikut:
Sumpah Pemuda
1. Kami
putra dan putri Indonesia bertumpah darah satu Tanah Indonesia.
2.
Kami putra dan putri
Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia.
3. Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia.
Ikrar sumpah pemuda ini mempengaruhi banyak bidang
pergerakan. Gerakan tersebut dilaksanakan dalam berbagai bidang, misalnya
sosial, pendidikan, budaya, dsb.
Pujangga Baru adalah salah satu gerakan
dalam bidang kebudayaan yang di dalamnya mencakup sastra. Selain Pujangga Baru
banyak media-media yang dimanfaatkan oleh para sastrawan untuk mengekspresikan
idennya. Media-media tersebut antara lain Timbul
dan Panji Pustaka. Keduanya memiliki
rubrik khusus sastra. Pujangga Baru
adalah satu-satunya majalah yang memuat karya sastra secara khusus pada waktu
itu.
Majalah Pujangga Baru ini bertujuan
untuk membawa atau menyebarkan semangat baru dalam lapangan kesusastraan,
kesenian, kebudayaan, dan sosial yang tujuan akhirnya adalah terbentuknya
persatuan bangsa. Hal ini nampak pada semboyan Pujangga Baru yang beberapa kali
mengalami perubahan. Semboyan-semboyan tersebut antara lain:
Ø Menuju
dan berjuang untuk memajukan kesusastraan baru (mulai tahun 1933)
Ø Pembawa
semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan soal masyarakat umum
(mulai tahun 1935)
Ø Pembimbing
semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan baru, kebudayaan
persatuan Indonesia (mulai tahun 1936)
Mulai tahun 1933-1935 Pujangga Baru
dipimpin oleh Armyn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Mr. Sumanang. Mulai
tahun 1935-1938 Pujangga Baru dipimpin oleh Sugiarti, Mr. Amis Syarifuddin, Mr.
S. Moh. Syah, Mr Sumanang, Dr. Ng. Purbacaraka, dan Sutan Takdir Alisyahbana.
Sekretaris redaksi dipegang oleh Mr. S. Moh. Syah (1936-1937), Armyn Pane
(1937-1938), dan W.J.S. Purwodarminto (akhir tahun 1938-pertangahan 1940).
Selain tokoh-tokoh di atas, ada banyak tokoh lain yang membantu majalah ini.
Toko-tokoh tersebut tersebar di seluruh Indonesia.
B. Pujangga
Baru sebagai Nama Angkatan
Pujangga Baru dengan latar belakangnya
tidak diragukan memiliki karakteristik yang khusus. Karakter khusus ini berbeda
dari angkatan Balai Pustaka yang merupaka angkatan pendahulunya. Karena
karakteristik ini Pujangga Baru dapat dimasukkan dalam periode tersendiri dalam
sejarah sastra Indonesia. Karena laihir pada tahun tiga puluhan, angkatan ini
juga disebut angkatan tiga puluhan.
1.
Pengaruh
Pengaruh yang Terdapat dalam Angkatan Pujangga Baru
Sebagai
sebuah gerakan baru pada waktu itu, perbedaan karakteristik Pujangga Baru pasti
dilatarbelakangi oleh sejarah sebelumnya. Jika dirunut kebelakang, Pujangga
Baru dipengaruhi setidak-tidaknya empat negeri, yaitu Belanda, India, Parsi,
dan Jawa.
a.
Pengaruh
dari Belanda
Pujangga Baru dipengaruhi angkatan 1880
dari negeri Belanda, yaitu De Tachtigers.
Angkatan ini mengadakan revolusi besar di bidang kesusastraan Belanda. Hal itu
sebagai reaksi atas “kesusastraan pendeta” dan kesenian sebelumnya yang
bersifat lambat dan dikemudikan oleh pikiran yang berhati-hati.
Pelopor-pelopor
gerakan ini adalah Willem Kloos, Lodewijk van Dyseel, Frederik van Eeden, dan
Albert Verwey. Mereka menerbitkan majalah De Nieuwe Gids (Pandu Baru) pada
tahun 1885. Syair-syair angkatan ini bersifat lirik-romantik dan pada umumnya
berbentuk soneta. Pengaruh-pengaruh tersebut tampak jelas pada karya-karya
Sutan Takdir Alisyahbana, Armyn Pane, dan J.E. Tatengkeng.
b.
Pengaruh
India, Parsi, dan Jawa
Pengaruh
ini nampak pada karya-karya Sanusi Pane dan Amir Hamzah.
2.
Angkatan
Pujangga Baru dan Pelopornya
Sebuah angkatan sastra dilatarbelakangi
ide yang merupakan antithesis dari ide sebelumnya. Sebuah ide merupakan motor
penggerak sebuah pergerakan yang keluar dari manusia tertentu. Hal ini terjadi
pula pada Pujangga Baru.
Pujangga
Baru dipelopori oleh empat orang tokoh, yaitu Sutan Takdir Alisyahbana, Sanusi
Pane, Armyn Pane, dan Amir Hamzah. Corak dan aliran Pujangga Baru nampak pada
corak dan aliran keempat tokoh ini.
3.
Konsepsi-Konsepsi
Pujangga Baru dalam Beberapa Bidang
Meskipun berada dalam satu angkatan dan
media yang sama, ide dasar dari keempat tokoh-tokoh Pujangga Baru tidaklah
sama. Ide mereka tentang berbagai hal bahkan bertentangan. Hal ini terjadi pada
hal-hal berikut:
a. Konsepsi
Mengenai Semangat Masyarakat Baru
1) Sutan
Takdir Alisyahbana berpendapat bahwa agar bangsa Indonesia maju ke depan dan
sederajat dengan bangsa-bangsa barat, masyarakat Indonesia yang statis itu
harus diubah menjadi masyarakat yang dinamis seperti masyarakat barat. Dengan
demikian faham-faham yang menyebabkan masyarakat barat maju seperti
materialisme, intelektualisme, egoisme, dan individualisme harus juga dimiliki
bangsa Indonesia. Sutan Takdir Alisyahbana juga berpendapat bahwa filsafat
India yang cenderung mengajak untuk selaras dengan alam harus diganti dengan
sikap menguasai alam. Hal ini bahkan tetap menjadi pandangan hidup dalam karya
selanjutnya seperti pada sebuah kutipan keyakinan Hidayat dalam Kalah dan Menang.
... Kebudayaan yang aktif dan dinamis selalu
akan menguasai kebudayaan yang lemah, yang sudah tua dan tiada sanggup
memperbarui dirinya kembali. Dalam hubungan inilah ia sangat terpesona akan
soal naik turunnya kebudayaan dan bagaimana kebudayaan-kebudayaan yang banyak
itu pengaruh mempengaruhi sepanjang sejarah.
2) Sanusi
Pane berpendapat bahwa hidup harus mementingkan rohani dan keselarasan jasmani
dengan alam. Pandangan ini dipengaruhi
ajaran mistik India.
b. Konsepsi
menganai kebudayaan Indonesia baru
1) Sutan
Takdir Alisyahbana berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia harus terlahir dari
semangat keindonesiaan, bukan merupakan sambungan dari kebudayaan Jawa, Sunda,
Melayu, dan kebudayaaan suku-suku lain di Indonesia.
2) Sanusi
Pane berpendapat kebudayaan harus bersendikan kebudayaan lama dari timur yang
diramu dengan kebudayaan maju dari barat
c. Konsepsi
mengenai seni
1) Sutan
Takdir Alisyahbana dengan tegas bersemboyan seni
untuk masyarakat dan menolak semboyan seni
untuk seni.
2) Sanusi
Pane lebih cenderung pada seni untuk seni
atau l’art pour l’art. Akan tetapi
secara umum semboyan Pujangga Baru adalah seni
untuk masyarakat.
d. Konsepsi
mengenai kesusastraan baru
Dalam
hal ini semua tokoh dalam Pujangga Baru sependapat bahwa kesusastraan Indonesia
baru harus memancarkan jiwa yang dinamis, individualisme, dan tidak
menghiraukan tradisi yang menghambat kemajuan
4.
Karakteristik
Sastra Angkatan Pujangga Baru
Karya-karya angkatan Pujangga Baru
meliputi berbagai genre sastra. Karya-karya tersebut dalam bentuk prosa, puisi,
dan drama. Selain itu terdapat pula essay dan kritik. Namun, dua yang terakhir tidak
akan dibahas pada bab ini.
a.
Prosa
Prosa Pujangga Baru terdiri atas roman,
novel, dan cerpen. Istilah roman pada masa itu cenderung dibedakan dengan
novel. Akan tetapi, penulis lebih cenderung untuk menyamakannya dengan alasan
bahwa roman sekalipun adalah novel berdasarkan definisinya. Dengan demikian
karena karakaterisktik ketiganya hampir sama – dalam hal unsur intrinsic dan
ekstrinsiknya – karakteristik ketiganya akan ditulis dalam satu kesatuan
karakateristik prosa.
Dari segi bahasa Pujangga Baru masih
menggunakan gaya bahasa lama yang bersifat klise. Akan tetapi, di sisi lain
Pujangga Baru banyak menggunakan gaya bahasa baru yang lebih hidup.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa dari
pergaulan yang juga menyerap bahasa-bahasa daerah Nusantara. Pujangga Baru
tidak menggunakan bahasa Melayu lama atau Melayu tinggi yang biasa digunakan di
sekolah-sekolah. Selain itu, banyak istilah-istilah Belanda yang digunakan
sehingga Pujangga Baru dikatakan kebelanda-belandaan.
Pesan yang disampaikan bersifat implicit.
Hal ini berbeda dengan Balai Pustaka yang menyampaikan secara eksplisit.
Gerakan cerita wajar dan berjalan dengan sendirinya. Kesimpulan dan penilaian
dikembalikan pada pembaca.
Tokoh dalam Pujangga Baru lebih dinamis
dan sudut penceritaan tidak terfokus pada satu tokoh saja. Selain itu, tokoh
dalam Pujangga Baru dilukiskan terutama jalan pikiran dan kehidupan jiwa
pelakunya. Hal ini berbeda dengan Balai Pustaka yang menceritakan keseluruhan
gerak-gerik pelaku mulai awal sampai akhir.
Tema yang diangkat dalam Pujangga Baru
tidak hanya seputar pertentang tua muda, masalah adat, poligami, kawin paksa,
kebangsawanan, gaya hidup kebelanda-belandaan yang dikecam orang-orang tua yang
merupakan tema sentral dalam Balai Pustaka. Pujangga Baru memiliki tema sentral
perjuangan menuju cita-cita dan semangat kebangsaan. Karya Pujangga Baru
berbicara tentang paham-paham dan nilai-nilai, misalnya politik, ekonomi,
budaya, agama, dan sebagainya.
Jika dalam Balai Pustaka banyak
berbicara tentang adat yang menunjukkan jiwa komunal masyarakat, Pujangga Baru
lebih berbicara tentang individu yang bebas dalam menentukan hidupnya. Selain
itu Pujangga Baru tidak lagi bersifat provinsialisme yang memecah-mecah
berdasarkan suku dan wilayah. Hal ini ditunjukkan dengan perkawinan antar suku
yang bersifat interinsular. Selain perkawinan tema juga menyangkut kehidupan
kota dan desa.
Secara garis besar cerita prosa mengenai
kehidupan real saat itu. Pujangga Baru tidak menulis tentang imajinasi
fantastis seperti pada sastra lama yang masih juga ditemui pada Balai Pustaka.
Aliran Pujangga Baru adalah
romantis-idealis. Hal ini berbeda dengan Balai Pustaka yang beraliran
romantis-sentimentil. Pujangga Baru lebih banyak berbicara tentang keindahan
dan perjuangan untuk sebuah cita-cita.
b.
Puisi
Puisi-puisi
Pujangga Baru cenderung untuk meninggalkan puisi-puisi tradisional. Mereka
membuat pembaruan-pembaruan dalam bidang ini. Akan tetapi, dalam beberapa hal
puisi Pujangga Baru masih menggunakan gaya-gaya Balai Pustaka.
Tema
puisi Pujangga Baru merefleksikan adanya kesadaran nasional, perasaan
kebangsaan, cinta tanah air, dan antikolonial. Pada umumnya puisi Pujangga Baru
bersifat lirik-romantik.
Puisi-puisi
Pujangga Baru masih terikat pada aturan-aturan yang sebagian sudah meninggalkan
gaya puisi Balai Pustaka. Puisi Pujangga Baru masih terikat pada baris dalam
setiap baitnya. Penyebutan jumlah bait ini berdasarkan istilah puisi barat.
Penyebutan tersebut, misalnya, distichon untuk bait dwirangkai, terzina untuk
bait trirangkai, kwatryn untuk bait catur rangkai, quin untuk bait panca
rangkai, sextet untuk bait sad rangkai, septima untuk bait sapta rangkai,
oktavo atau stanza untuk bait hasta rangkai, dan sebagainya.
Pujangga
Baru juga sangat gemar menulis puisi soneta. Soneta ini adalah sejenis puisi
yang berasal dari Italia. Puisi ini memiliki kemiripan dengan pantun yang
mementingkan rima akhir. Jumlah baris dalam soneta selalu 14 dengan jumlah
baris dalam setiap baitnya bervariasi. Pada soneta Pujangga Baru sedikitnya ada
lima bentuk, yaitu satu bait 16 baris, dua bait 8-6, empat bait 4-4-3-3, lima
bait 4-4-2-2-2, dan tiga bait 4-4-6.
c.
Drama
Drama Pujangga Baru tidak begitu
dominan. Drama pada jaman ini bertema tentang kebesaran sejarah indonesia yang
sesuai dengan gerakan Pujangga Baru yang memperjuangkan rasa kebangsaan
Indonesia.
5.
Tokoh-Tokoh
Pujangga Baru
Dalam Pujangga Baru terdapat tokoh-tokoh
yang sangat berperan. Tokoh-tokoh tersebut tersusun sebagai berikut.
1. A.
Hasymi
2. A.M.
Daeng Mijala
3. Amir
Hamzah
4. Armiyn
Pane
5. Asmara
Hadi
6. Fatimah
Hasan Delais
7. G.
S. Lalanang
8. I
Nyoman Panji Tisna
9. J.E.
Tatengkeng
10. Jusuf
Sou’yb
11. Laurens
Koster Bohang
12. M.
D. Yati
13. M.
I. Nasution
14. M.
Taslim Ali
15. Marius
Ramis Dayoh
16. Mozasa
17. Muhammad
Yamin
18. N.
Adil
19. O.R.
Mandank
20. R.D.
21. Rifai
Ali
22. Rustam
Efendi
23. S.
Yudho
24. Samadi
25. Sanusi
Pane
26. Suman
Hs.
27. Sutan
Takdir Alisyahbana
28. Sutomo
Jauhar Arifin
29. Yogi
(Abdul Rivai)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
ٱلْعَٰلَمِين
Silahkan berkomentar Sesuai Tema, gunakan kata-kata yang bijak dalam berkomentar, Terima Kasih...